Sebagai generasi penerus bangsa, tidak ada salahnya jika sejenak kita menengok sejarah pendidikan di Indonesia. Tentu dalam alur sejarah tersebut, pasti ada aktor yang berkontribusi di dalmnya, khususnya berkaitan dengan dunia pendidikan di Indonesia. Jauh sebelum kemerdekaan RI, banyak tokoh Indonesia yang memiliki pemikiran maju, khususnya dalam bidang pendidikan. Beberapa tokoh pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara, Mohamad Syafei, dan KH. Ahmad Dahlan merupakan sejumlah tokoh pendidikan pribumi yang memberikan warna pendidikan sampai saat ini. Tokoh-tokoh tersebut adalah insan-insan bermartabat yang memperjuangkan pendidikan dan sekaligus pejuang kemerdekaan yang berjuang melepaskan cengkeraman penjajah dari bumi Indonesia.
1) Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara, lahir 25 Februari 1889 adalah salah satu seorang putra terbaik negeri ini yang memiliki pemikiran yang sangat maju pada zamannya dalam memperjuangkan pendidikan. Bahkan, hasil pemikirannya kalau kita perhatikan masih relevan sampai saat ini.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara memiliki inti ingin "memajukan bangsa tanpa membedakan RAS, budaya, dan dangsa". Melihat buah pemikiran tersebut, betapa pemikirannya sampai saat ini masih relevan. Potensi bangsa Indonesia kalau bersatu akan cukup kuat, maka pada saat penjajahan di pecah belah oleh Belanda dengan divide et impera-nya. Bahkan, kalau kita perhatikan saat ini bangsa kita masih rentan dengan perpecahan. Ajaran Ki Hajar Dewantara yang saat ini dipakai sebagai lambang Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), yaitu Ing Ngarso Sung Tulado, Ing Madya Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Falsafah Ing Ngarso Sung Tulado bermakna seorang guru hendaknya memberi teladan yang baik kepada murid-muridnya. Ing Madya Mangun Karso, menyiratkan seorang guru harus terus untuk membuat inovasi dalam pembelajaran. Dengan Tut Wuri Handayani, maka seorang pendidik harus dapat membangkitkan motivasi, memberikan dorongan pada anak didiknya untuk terus maju, berkarya, dan berprestasi. Semboyan tersebut sampai saat ini masih sangat relevan, meskipun kalau kita perhatikan ada beberapa guru yang kurang paham tentang falsafah tersebut. Betapa mulianya ajaran tersebut. Bayangkan, seorang pendidik harus dapat menjadi teladan bagi anak didiknya dalam berbagai hal, sehingga guru dapat menjadi panutan bagi anak didiknya.
2) Mohammad Syafei
Mohammad Syafei adalah seorang berdarah Minang yang dilahirkan di Kalimantan Barat, Ia dilahirkan tepatnya di daerah Natan tahun 1895. Ayahnya bernama Mara Sutan dan ibunya Khadijah. Syafei berhasil menamatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat pada tahun 1908. Kemudian ia pun meneruskan pendidikanya ke sekolah Raja (Sekolah Guru) dan lulus pada tahun 1914.
Perjalanan hidup mengharuskan dirinya hijrah ke Jakarta dan menjadi guru pada sekolah Kartini selama 6 tahun. Di sela-sela kesibukannya, ia menyempatkan diri untuk belajar menggambar. Ia aktif dalam Pergerakan Budi Utomo serta membanu Pergerakan Wanita Putri Merdeka.
Pada tanggal 31 Mei 1922 Mohammad Syafei berangkat ke negeri Belanda untuk menempuh pendidikan atas biayanya sendiri. Beliau belajar selama tiga tahun dan memperdalam ilmu musik, memggambar, pekerjaan tangan, sandiwara termasuk memperdalam pendidikan dan keguruan. Pada tahun 1925, Beliau kembali ke Indonesai untuk mengabdikan ilmu pengetahuannya.
Sekembalinya dari Belanda, Syafei menerapkan ilmunya dengan mengelola sebuah sekolah yang kemudian dikenal dengan Sekolah INS Kayutanam. Sekolah ini lebih dikenal dengan nama Sekolah Kayutanam, sebab sekolah ini didirikan di kayutanam. Kayutanam adalah sebuah nama desa kecil di Sumatara barat, sedangkan INS sebuah lembaga pendidikan yang merupakan akronim dari Indonesische Nederlandsche School. Cikal bakal sekolah ini adalah milik jawatan kereta api yang dipimpin oleh ayahnya yang pada tanggal 31 Oktober 1926 diserahkan kepada M. Syafei untuk dikelola. Akibat kemampuan Syafei mengelola sekolah ini kemudian sekolah ini tersohor dengan nama Ruang Pendidikan Kayutanam.
3) KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama
Muhammad Darwis. Ayahnya KH. Abu Bakar adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak KH. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah, Keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar adama Islam yang telah dikenal di pulau Jawa.
Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur pergerakan sosial-keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad ke XX. sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain seperti: Perlangan, Jakarta, Jombang, Bayuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di tempat-tempat itu, ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum cerdik cendekiawan lain, yang sama-sama menjadi pedagang ataupun bukan.
Dalam pertemuan-pertemuan itu, mereka berbicara tentang masalah agama Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang secara langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau keterbelakangan penduduk muslim pribumi di tengah-tengah masyarakat kolonial. Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan, budaya dan kebangsaaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya interaksi personal maupun formal anatara Ahmad Dahlan dengan organisasi, seperti Budi Utomo, Srikat Islam, dan Jamiat Khair, maupun hubungan formal antara organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama dengan Budi Utomo.
Dalam berbagai kesempatan Ahmad Dahlan sering menyampaikan ide pendirian sekolah yang mengacu pada metode pengajaran yang berlaku pada sekolah milik pemerintah kepada berbagai pihak, termasuk kepada para santri yang belajar di Kauman maupun penduduk Kauman secara umum.
3) KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama
Muhammad Darwis. Ayahnya KH. Abu Bakar adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak KH. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah, Keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar adama Islam yang telah dikenal di pulau Jawa.
Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur pergerakan sosial-keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad ke XX. sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain seperti: Perlangan, Jakarta, Jombang, Bayuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di tempat-tempat itu, ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum cerdik cendekiawan lain, yang sama-sama menjadi pedagang ataupun bukan.
Dalam pertemuan-pertemuan itu, mereka berbicara tentang masalah agama Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang secara langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau keterbelakangan penduduk muslim pribumi di tengah-tengah masyarakat kolonial. Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan, budaya dan kebangsaaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya interaksi personal maupun formal anatara Ahmad Dahlan dengan organisasi, seperti Budi Utomo, Srikat Islam, dan Jamiat Khair, maupun hubungan formal antara organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama dengan Budi Utomo.
Dalam berbagai kesempatan Ahmad Dahlan sering menyampaikan ide pendirian sekolah yang mengacu pada metode pengajaran yang berlaku pada sekolah milik pemerintah kepada berbagai pihak, termasuk kepada para santri yang belajar di Kauman maupun penduduk Kauman secara umum.
Post a Comment